Bab 132
Bab 132
Bab 132 Terbangun Di Rumah Sakit
Menopang Fabian ke luar rumah sangat melelahkan untuknya sehingga tak ada lagi energi yang tersisa untuk dapat memeriksa kondisinya.
Petugas itu mengetahui bahwa dia bertanya tentang Fabian maka dia segera melihatnya dan berkata, “Dia baik-baik saja tapi sekarang ia pingsan. Anda tidak perlu khawatir”
Setelah mendengar hal itu Vivin merasa lega. Dia lalu menutup matanya dan jatuh pingsan.
Beperapa saat kemudian.
Ketika Vivin terbangun, dia sudah terbaring di ranjang bangsal rumah sakit.
Di sisi ranjangnya, ada Noah yang sedang duduk. “Bu Normando, anda sudah bangun!” Noah segera berdiri setelah ia melihat Vivin siuman. “Apa yang anda rasakan? Apakah anda bisa melihat dengan jelas?”
Mendengar ucapannya, Vivin menyadari bahwa ternyata, penglihatannya tampak kabur dan dia tidak bisa melihat dengan jelas.
Namun, dia tidak khawatir dengan keadaannya, sebaliknya, dia meraih Noah dan bertanya dengan suara serak, “Dimana Fabian?”
Begitu berbicara, ia sadar bahwa suaranya terdengar seperti sebuah alat musik yang rusak.
Rasa malu tercermin di wajah Noah dan ia menjawab, “Jangan khawatir. Dia baik-baik saja. Hanya luka-lukanya yang terinfeksi tapi seharusnya dia sudah bangun sekarang.”
Vivin menghela nafas lega. Lalu dia terbatuk-batuk.
Noah dengan cepat menuangkan secangkir air untuknya. “Pak Normando sedang berada di pesawat. Seharusnya akan mendarat dalam beberapa jam.
“Bukannya dia sedang dalam perjalanan bisnis di Amerika?”
“Saat Bapak mendengar tentang kebakaran di rumah, dia langsung memesan penerbangan pulang yang paling awal.” Noah melanjutkan dengan sungguh-sungguh, “Bu Normando, Bapak sangat mencemaskan anda.”
Bibir Vivin bergetar.
Mungkin, dia lebih khawatir dengan kalung itu?
Saat mengingat kalung tersebut, dia kemudian dengan cepat meraba lehernya sambil dengan panik berkata, “Dimana kalung itu?”
Noah tertegun pada awalnya. Kemudian dia ingat dan segera mengambil kalung kristal dari meja yang ada di samping tempat tidur. “Apa maksud anda kalung yang ini?”
Noah tidak tahu betapa berharganya kalung kristal itu. Dia menyaksikan Vivin memegang kalung di tangannya dan seketika kepanikannya mereda. “Syukurlah! Kalung ini masih ada di sini…”
Noah merasa bingung. Tepat ketika dia hendak memanggil dokter untuk memeriksa keadaannya, tiba- tiba Vivin mendongak dan bertanya, “Pak Atmaja, bisakah anda membawa saya menemui Fabian?” Têxt © NôvelDrama.Org.
Vivin sudah tahu jika nanti Finno telah tiba, dengan temperamennya yang mendominasi, dia tidak mungkin memiliki kesempatan lagi untuk bertemu Fabian.
Namun, saat ini dia benar-benar khawatir pada Fabian dan yang lebih penting lagi, dia benar- benar merasa bahwa sudah banyak menyusahkannya.
Noah nampak tidak nyaman sambil menjawab, “Bu Normando, ini tidak tepat…”
Aku pasti sudah gila jika mengantar Bu Normando untuk melihat mantan pacarnya…
Vivin mengerutkan kening, sambil berkata, “Baiklah, jika kamu tidak mau menemaniku, aku sendiri yang akan pergi.”
Saat itu juga, Vivin berusaha untuk turun dari tempat tidur.
“Oh. Bu Normando, tolong… Noah mengkhawatirkannya, dan sekarang dia tidak punya pilihan lagi selain membantu Vivin untuk naik ke kursi roda dan menggantung botol infusnya di kursi roda itu. “Lebih baik saya yang mengantarkan anda ke sana.”
Mendorong Vivin di kursi roda, akhirnya Noah tiba di bangsal Fabian. Sebelum mereka masuk, mereka dapat mendengar suara Alin sedang menangis dan terisak.
“Fabian, bagaimana kamu bisa mendapatkan cedera serius seperti ini? Ya ampun, apa yang harus aku lakukan?”
Vivin bingung dan secara naluriah, dia ingin pergi. Namun, Fabian yang sedang berbaring di tempat tidur sudah terlanjur melihatnya.
Ada binar di matanya sambil dia segera berkata, “Vivin, kamu sudah di sini, mengapa tidak masuk?”
Vivin hanya bisa menguatkan dirinya saat dia memberi isyarat kepada Noah untuk mendorongnya ke dalam.
Saat Alin melihat Vivin, air matanya terhenti dan berganti dengan api kecemburuan dan kebencian yang memenuhi tatapannya.
Dengan cepat, Fabian menoleh pada Alin dan berkata, “Alin, tolong tinggalkan kami sebentar.”
Keengganan terlihat di wajah Alin tetapi karena Fabian bersikeras, dia tak punya pilihan selain pergi. Sebelum itu, dia memastikan untuk memelototi Vivin dengan sinis.
Noah juga meninggalkan ruangan.
Di bangsal, Fabian sendirian dengan Vivin.
Vivin menatap wajah pucat Fabian. Kakinya dibalut dengan gips. Di wajah dan bahunya terdapat banyak luka bakar dan dia penasaran seberapa buruk luka bakar yang ada di balik pakaiannya.
Secara spontan, matanya menjadi sedikit berkaca-kaca.
Meskipun demikian, dia melakukan yang terbaik untuk mengendalikan emosinya dan berkata dengan lembut, “Fabian, aku sungguh-sungguh ingin mengucapkan terima kasih dengan tulus. atas petolonganmu.”
Fabian memandang Vivin dan menjawab dengan tenang, “Kamu benar-benar harus berterima kasih padaku. Apakah kamu tahu betapa berbahayanya keadaan di sana? Kamu kembali ke dalam kamar untuk mendapatkan kalung itu. Jika bukan karena aku, kurasa kamu akan mati di dalam.”