Empat bayi Kembar Kesayangan Ayah Misterius

Bab 13



Bab 13

Tubuh kecil Oliver membeku, lalu menoleh pada Asta yang berjalan masuk ke ruang makan. Asta masih memegang ponselnya di tangan, kemeja hitam dengan dua kancingnya yang tidak terkancing, pinggangnya yang ketat dan kakinya yang ramping, dan sepasang mata tajamnya yang terlihat sedikit marah. Anak itu mengatupkan bibirnya, dan wajah tembemnya tampak enggan dan berkata dengan nada suara yang berbeda : “Ayah.” Hati Samara membeku saat dia menatap sepasang mata tajam yang dalam itu, jadi bocah yang mempunyai ular ini adalah putranya Asta? Jadi Asta tidak hanya memiliki seorang putri, Olivia, melainkan sepasang anak kembar? Asta melirik Oliver dengan acuh tak acuh : “Apa yang ada didalam kepalamu itu? Memintanya menjadi wanitamu, kenapa?” Oliver sedikit takut melihat Asta, tetapi dia ingat bahwa dia baru saja bersumpah di depan Samara bahwa dia akan melindunginya, jadi dia tidak boleh kelihatan gusar didepan ayahnya, dan bersikeras berkata : “Ayah, saya menyukainya, dan saya ingin dia tetap disini.” Kening Asta berkerut lebih dalam lagi : “Apa kamu mengerti apa itu rasa suka?” “Tentu saja!” Oliver menggaruk telinganya, dan rona merah samar muncul di pipinya : “Ayah, bisakah kamu berhenti memperlakukanku sebagai anak kecil? Saya sudah dewasa, saya tahu saya harus menunjukkan inisiatif pada wanita yang kusukai.” “Siapa yang mengajarimu kata- kata ini?” Asta bertanya dengan dingin. “Saya….” Tatapan Asta membuat Oliver sedikit ketakutan. “Oliver, siapa yang mengajarimu?” Oliver memutar mata hitamnya beberapa kali, lalu menjual pamannya, Alfa : “Paman, saya mendengarnya berbicara seperti itu pada seorang bibi, dan bibi itu menjadi sangat senang, jadi saya kira kalau saya berbicara seperti itu, dia juga akan senang, lalu tetap menemaniku disini….” Mendengar ucapan putranya, Asta sudah menyimpan masalah ini dalam hati dan akan membuat Alfa membayar harganya. “Kembalilah ke kamarmu, ada yang ingin saya bahas dengan Nona Samara.” Asta melirik sejenak anak itu. Oliver masih ingin menghabiskan waktu dengan Samara, tapi tatapan ayahnya itu seolah menyuruhnya untuk segera pergi, jangan-jangan dia sendiri menyukai wanita ini, dan ingin berduaan dengannya, jadi tidak membiarkan dia, putranya sendiri mendekatinya? Anak itu bergumam samar-samar : “Ayah sendiri ingin memilikinya…jadi menggunakan statusnya sebagai ayah untuk menekan orang…tunggu saja…” “Oliver, apa yang sedang kamu katakan?” Oliver menggelengkan kepalanya dengan patuh : “Saya..saya akan kembali ke kamar.” Dan sebelum naik keatas, anak itu tidak lupa menatap Samara dengan serius dan menjelaskan : “AyahConTEent bel0ngs to Nôv(e)lD/rama(.)Org .

tidak membiarkanku disini, jadi saya hanya bisa berpamitan denganmu, bye-bye.” Mulutnya memang mengatakan seperti itu, tapi tatapannya seolah berkata pada Samara, Ayah sudah tua dan tidak mengerti apapun, maafkan saya ya. Samara berjongkok dan mengelus kepala anak itu : “Bye-bye~~” Setelah melihat Oliver pergi, Samara berbalik dan melihat Asta sedang menatapnya dengan tenang, tatapan matanya yang dalam membuat jantungnya berdetak kencang. “Nona Samara, sepertinya sangat terampil dalam mengurus anak ya?” “Mungkin?” Samara merasa dirinya bukanlah ibu yang baik dalam merawat anaknya, dia juga sangat ingin menjaga kedua putranya dengan baik, namun setelah Xavier dan Javier berangsur-angsur dewasa, sebaliknya malah merekalah yang menjaga ibunya dengan sangat baik. Setelah makan malam, Samara mengikuti Asta menuju ruang baca di lantai dua. Di ruang baca. Selain perabotan, Samara juga melihat satu set rak buku yang megah, tingginya mungkin mencapai lima meter, dan memerlukan tangga untuk mencapai rak paling atas untuk mengambil buku, benar-benar cocok untuk belajar dan bekerja dengan serius disini. Tatapan Asta sangat dingin, tapi fokus : “Nona Samara, sebenarnya memang ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan Anda, saya memerlukan bantuanmu untuk menyembuhkan seseorang.” Samara mengerutkan keningnya, dia berpikir kalau dia sudah menyembunyikan identitasnya sebagai tabib dengan sangat baik, dan bagaimana pria didepannya ini bisa mengetahui identitasnya? Kalau dia tahu, sebanyak apa yang dia tahu? Atau apakah pria ini sudah tahu wajah aslinya di balik topeng ini? Samara mencoba mengelak : “Tuan Asta, kalau Anda sudah memeriksa latar belakangku, maka Anda pasti tahu saya ini dokter forensik, bukan dokter. Hanya berbeda satu kata namun perbedaannya beribu kilometer.” Asta melangkah mendekat pada Samara,, dan mata tajamnya itu tidak berhenti menatapnya dengan intens. Sedangkan Samara yang ditatap olehnya merasa seperti seorang bayi yang baru dilahirkan, berdiri didepan Asta tanpa dibungkus sehelai pakaian pun, dan membiarkan matanya menatap dan menilai dirinya sendiri. “Olivia sudah mengidap afasia sejak kecil, dan saya sudah membawanya menemui berbagai dokter, tapi mereka semua mengatakan kalau penyakitnya ini bukan penyakit turunan, melainkan terjadi karena masalah psikologisnya.” Asta berhenti sesaat sebelum melanjutkan lagi : “Kamu adalah orang pertama yang membuatnya bisa berbicara, dan membuatnya mengucapkan kata ‘ibu’….” “Saya membuatnya bisa berbicara?” “Tidak ada gunanya saya membohongimu.” Asta

menatap wajah Samara yang sempat kaget lalu berkata dengan tenang : “Saya hanya ingin kamu membantu membuat hati Olivia sedikit terbuka.” Mendengar itu, Samara menghela nafasnya dan merasa lega karena ini tidak ada hubungannya dengan identitas aslinya. “Asalkan kamu bisa menyembuhkan penyakit afasia yang diidap Olivia, kamu boleh mengajukan persyaratan apa saja padaku, saya pasti akan memenuhinya.” “Tidak perlu.” Samara menggelengkan kepalanya dan tidak lagi tersenyum. “Hati manusia bagaikan ular yang ingin menelan gajah.” Asta mengernyitkan keningnya dan nada bicaranya terdengar sedang menahan kesinisannya : “Entah persyaratan apa yang kamu inginkan, bahkan Keluarga Costan pun tidak akan sanggup memenuhinya?” “Saya rasa orang yang tidak tahu berpuas hati adalah kamu sendiri.” Samara meliriknya dengan malas : “Tidak perlu artinya saya tidak perlu Keluarga Costan untuk memenuhi persyaratan apapun terhadapku.” Samara menjawab dengan rendah hati sambil menatap tajam pada mata Asta yang tajam. “Tuan Asta, saya bersedia membantu menyembuhkan afasia Olivia tanpa persyaratan apapun.” “Tanpa persyaratan apapun?” Mata licik Samara seperti rubah kecil yang lucu : “Saya menyukai Olivia, dan saya juga tidak keberatan sering-sering bertemu dengannya, hanya itu. Mengenai kamu dan Keluarga Costan, saya tidak tertarik sama sekali.”


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.