Bab 18
Alex sempat menahan Selena sebelum Selena jatuh ke lantai.
Namun, orang yang menahannya itu bukan Harvey, melainkan Alex. Begitu Selena menengahkan kepalanya, dia melihat Harvey berdiri tidak jauh darinya dan menatap kejadian ini dengan tatapan dingin dan acuh tak acuh.
Benar juga, saat ini, Harvey pasti menganggap dia sedang berpura-pura, karena bagaimana mungkin seseorang bisa berjatuh di tanah datar.
Kini, hubungan mereka hanya tersisa benci. Jadi, tidak mungkin Harvey akan perhatian kepadanya. Malahan Alex bertanya dengan nada khawatir, “Nyonya, apa Anda baik-baik saja?”This belongs to NôvelDrama.Org - ©.
“Aku baik-baik saja. Aku hanya mengalami hipoglikemia,” ujar Selena sambil menertawakan dirinya sendiri dan mengikuti Harvey di belakangnya.
Saat ini, seluruh halaman rumah mereka tertutup salju. Para pelayan tidak tahu menghilang ke mana, karena tidak ada seorang pun yang membersihkan tumpukan salju ini. Hal ini membuat napas Selena terengah-engah karena dia mengalami kesulitan berjalan di atas tumpukan salju.
Ketika Selena baru saja hendak masuk ke dalam kamarnya untuk menghangatkan dirinya setelah berjalan di jalanan bersalju, dia melihat Harvey berdiri di depan pintu kamarnya sambil mencibir, “Aku harus mengatakan kalau kemampuan aktingmu meningkat banyak dibanding tahun lalu.”
Waktu itu Selena sempat menggunakan segala cara agar Harvey mau kembali ke sisinya.
Ketika Selena mendengar perkataan ini, dia sadar kalau Harvey sedang menyindirnya, sehingga dia juga tidak berbicara banyak. Terakhir dia hanya tersenyum dan mencemooh, “Terima kasih atas pujiannya.”
Selena mengalihkan pandangan matanya, melewati sisi Harvey dan masuk ke dalam kamarnya . Kehangatan dari ruangan ini membuat Selena merasa sedikit lebih nyaman. Dia melepaskan mantel wol yang tebal dan menuangkan segelas air hangat. Kemudian, dia duduk di sofa dan berkata, “Katakanlah, apa kamu masih ingin bercerai atau tidak?”
“Aku akan memberitahumu ketika kita hendak bercerai. Untuk sementara, kamu tinggal saja di sini.”
Selena duduk di hadapannya dengan raut wajah datar. Dia terus memainkan bola bulu yang menjuntai dari topinya dengan ujung jarinya.
“Harvey, kamu mengajukan gugatan cerai padaku pada hari ketujuh setelah aku melahirkan. Selama ini aku tidak mengerti mengapa kamu begitu buru-buru ingin bercerai. Namun, ketika aku melihat seorang anak yang wajahnya begitu mirip denganmu, aku baru mengerti akan semua ini. Ternyata kamu buru-buru ingin berpisah denganku karena kamu ingin memberikan sebuah keluarga yang lengkap kepada Agatha.”
Ketika Selena mengatakan perkataan ini, suaranya terdengar sedikit gemetar. “Selama ini, tidak peduli seberapa cueknya dirimu, aku tetap berusaha mengingat kembali kebaikanmu untuk menutupi pengkhianatanmu dan tidak berperikemanusiaanmu. Aku terus berpikir kalau kamu hanya ingin bersenang-senang untuk sementara waktu. Aku adalah istrimu dan pasti karena aku telah berbuat kesalahan sehingga kamu tidak memedulikanku. Jika kamu mengatakannya kepadaku, aku pasti akan berubah, bahkan aku akan memaafkan seluruh kesalahanmu.”
“Jika dipikir kembali, aku merasa diriku sungguh bodoh. Ketika kamu dan wanita lain, anakmu sedang hidup bahagia, aku terus menunggumu di rumah yang kosong ini. Aku terus menunggu seseorang yang tidak akan kembali lagi ke sisiku.”
“Aku butuh waktu setahun untuk menerima kenyataan ini. Hal ini juga membuat diriku sadar betapa bodohnya diriku yang dulu. Karena itu, aku akan melepaskanmu sekarang. Jika kamu mau menemukan kebahagiaanmu, memberikan mereka sebuah keluarga yang lengkap, aku juga tidak akan peduli lagi.”
Selena bangkit dan berjalan ke arah Harvey dengan sempoyongan. Air matanya mengalir dari pipinya dan jatuh ke lantai yang dingin.
Selena berhenti di depan Harvey dan menatap pria di hadapannya dengan raut wajah datar. Meskipun pria ini hanya menunjukkan wajah datar, aura di sekitarnya terasa sangat mengerikan seolah emosinya akan meledak kapan pun.
Dulu, Harvey hanya akan memperlihatkan raut wajah ini kepada orang lain dan selalu menatap Selena dengan tatapan mata penuh kelembutan.
Selena tidak menyangka sekarang dia sudah menjadi orang lain di mata Harvey.
Seharusnya dia sudah melepaskan pria ini sejak dulu.
Selena menundukkan kepalanya. Bibir merahnya terbuka perlahan dan raut wajahnya terlihat putus asa. Selena berkata, “Harvey, aku akan melepaskanmu, jadi tolong lepaskan aku juga.”
Suara permohonan Selena membuat hati Harvey seperti diremas. Dia melihat wajah Selena yang lelah.
Seolah seorang wanita yang awalnya sangat kuat dan tegar, tapi karena mengalami kekecewaan yang sangat besar, akhirnya wanita ini menyerah dan putus asa.
Menyerah memang lebih baik daripada terus bertahan.
Ketika seseorang sudah putus asa, tidak akan ada seorang pun yang tahu seberapa lama dia terus berjuang dan bertahan, sampai akhirnya dia tidak tahan lagi dan menyerah.
Apa yang dikatakan Selena memang benar. Selain membalas dendam, alasan mengapa Harvey ingin bercerai adalah karena dia ingin menambahkan nama putranya di kartu keluarganya.
Setelah berselisih hampir satu tahun, kini Selena tiba-tiba menyerah. Hal ini membuat Harvey merasa dirinya tidak sebahagia yang dia bayangkan.
“Jangan harap aku akan melepaskanmu! Mulai sekarang, kamu akan tinggal di kediaman ini. Seumur hidup ini, baik hidup atau mati, kamu tetap akan menjadi milikku!”
Tetesan air mata Selena jatuh ke wajah Harvey. Hal ini membuat hati Harvey merasa sangat sedih.
Namun, tidak lama kemudian, Harvey mengeluarkan ponselnya dan mengklik sebuah foto dengan kesal. Foto itu adalah foto Lewis yang terbaring di atas tandu ambulans.
“Jika kamu berhubungan lagi dengan pria ini, selanjutnya, orang yang akan terbaring di atas tandu ini adalah Keluarga Martin! Selena, kamu jangan berharap bisa hidup bahagia seumur hidup ini!”
“Dasar bajingan! Jika kamu membenciku, kamu langsung lampiaskan saja kepada diriku! Mengapa kamu melampiaskannya kepada Lewis,” ujar Selena sambil melayangkan sebuah tamparan ke wajah Harvey, tapi Harvey berhasil meraih tangan Selena sebelum tamparan itu berhasil mendarat di wajahnya.
Harvey menatap Selena dengan tatapan benci dan berkata, “Ternyata kamu begitu peduli kepadanya. Aku harap kamu tidak lupa, selagi kita belum bercerai, kamu tetap akan menjadi istriku!”
“Aku ...”
Sebelum Selena sempat berkata, dia sudah digendong oleh Harvey.
Sekujur tubuh Harvey mengeluarkan aura yang mengerikan. Harvey melemparkan Selena ke atas ranjang dengan kasar. Untungnya, ranjang itu terbuat dari bahan pilihan Selena, ranjang itu sangat lembut dan elastis, sehingga Selena tidak terluka.
Namun, begitu Selena dilempar ke atas ranjang, kepala Selena yang awalnya sudah pusing terasa semakin pusing. Saat ini, Selena hanya bisa terbaring di atas kasur dengan lemas dan menatap pria yang berdiri di depan ranjang dengan raut wajah penuh ketakutan.
Harvey terlihat seperti orang yang kerasukan setan. Dia melepaskan ikatan dasi di lehernya dengan kasar, lalu berjalan mendekati wanita yang ketakutan di ranjang dengan raut wajah sadis.
“Seli, apa kamu bersama dengan pria itu beberapa hari ini? Apa dia menyentuhmu?”
Ketika Selena mendengar panggilan yang hampir dua tahun ini tidak pernah didengarnya, dia langsung merinding, bahkan bulu kuduk di sekujur tubuhnya langsung berdiri.
Pria ini seperti seekor monster yang baru saja terlepas dari ikatan belenggu dan ingin menerkamnya.
Selena menggelengkan kepalanya dan berkata, “Kami hanya teman biasa, aku tidak menyangka ternyata pikiran kamu begitu kotor!”
“Kotor? Hmph ...” Harvey tersenyum sinis sejenak, lalu dia meraih kaki Selena. Selena menahan rasa sakit dan terus melawan, tapi tinjuan Selena sama sekali tidak berasa pada tubuh Harvey.
Selena tidak tahu kalau beberapa hari ini Harvey mencarinya ke mana-mana dan hanya tidur tidak sampai sepuluh jam. Saat ini, Harvey menatapnya dengan tatapan penuh kebencian seolah dia adalah seekor monster yang menyerap banyak energi negatif dan butuh tempat pelampiasan.
Harvey melepaskan sepatu dan kaus kaki Selena. Harvey sudah lama sekali tidak menyentuh Selena, sehingga Harvey menatapnya dengan tatapan penuh nafsu.
Selena sangat memahami apa arti tatapan mata itu, sehingga dia memohon dengan suara memelas, “Jangan, Harvey, kamu tidak boleh ... “